Presiden Soeharto
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin
militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor
Jenderal. Setelah Gerakan 30 September,
Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab
dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari
500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973,
1978,
1983,
1988,
1993,
dan 1998.
Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada
tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan
mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai
presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai
saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru,
Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan
infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan
Tionghoa,
menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling
korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha
untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah
menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan
organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari
2008.
Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang
membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi
ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara
anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian mata dunia
terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan
Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk
maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta
ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika
yang mengalami kelaparan.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai
berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia,” kata
Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu
dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi
Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap
swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta
ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton.
Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali
terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden
diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada
seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan
keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di
Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan
produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak
terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan
tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh
Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York
bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto
makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar
ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi
regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. Tetapi, Soeharto mengklaim
dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai
negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah, di antara
istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi
kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden,” tutur
Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan
Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.
Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden
Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer
di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai
presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno
sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai
presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi menjadi
presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini,
Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku
Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai
pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968
terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang memperkirakan
bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk
periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada 28
April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia
bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat
kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia menerima penganugerahan
Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (39 September
1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI
pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk
memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar